Filsafat Ilmu


KRITERIA KEBENARAN

Pendahuluan
Alasan Tuhan menjadikan manusia – secara simbolik diwakili adam sebagai manusia terpilih – sebagai  Khalifah pengemban peradaban adalah manusia memilik akal tempat mengolah informasi – informasi yang menjadi bagan konsepsional[1] yang bersifat kohern[2] dan komprehensif[3] sehingga pada waktunya – diterima atau tidak; rasional atau tidak – menjadi sebuah pengetahuan dan manusia adalah satu – satunya makhluk Tuhan yang dengan kesungguhan mampu mengembangkan pengetahuan[4] secara personal maupun impersonal.
Secara naluriah, manusia akan selalu memanusiakan diri dengan mengejawantahkan paradigma pengetahuan sesuai kemampuan nalarnya dalam mencapai hakikat hidup – tujuan  tertinggi – dan hal inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk fisik lain yang dalam hidupnya hanya sekadar pada survival tanpa memiliki orientasi dan tujuan. Ada dua faktor utama dalam pengembangan pengetahuan. Pertama, manusia mempunyai bahasa pengantar yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatar belakangi informasi tersebut; kedua, kemampuan berfikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu[5].
Berbicara tentang pengetahuan, kita baru dapat menganggap mempunyai pengetahuan setelah meneliti pertanyaan – pertanyaan epistemology (apa dan bagaimana[6]) dengan kata lain, manusia mendapatkan pengetahuan setelah mengadakan usaha berpikir dengan kerangka berpikir tertentu, tentunya setelah bersatunya pengetahuan indrawi – menyajikan penciuman, melihat, merasakan – dan akal budi[7].  
Pengetahuan merupakan proses kehidupan yang diketahui manuisa secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subyek) memiliki yang diketahui (obyek) di dalam dirinya sendiri sedemian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui itu pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif. Pada sisi lain – bukan dalam kerangka penalaran sebagai proses berfikir–, pengetahuan juga bisa didapat dari intuisi – merupakan  pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses penalaran tertetu – dan  wahyu[8].

A.    Pengetahuan Pra-Ilmiah dan Ilmiah
Pengetahuan pra ilmiah adalah pengetahuan sehari – hari yang tidak / belum diperanggungjawabkan secara ilmiah. Sedangkan Pengetahuan Ilmiah adalah pengetahuan yang sudah dipertanggungjawabkan secara ilmiah, atau diperoleh melalui metode ilmiah
Pengetahuan ilmiah harus melalui serangkaian langkah – langkah tertentu yang dilakukan secara disiplin. Sebuah hipotesis yang telah teruji secara formal diakui sebagai pernyataan pengetahuan ilmiah meski demikian tidak menutup kemungkinan apa yang sudah diakui menjadi pernyataan yang ilmiah bisa menjadi tidak ilmiah lagi ketika dikemudian hari ditemukan kelengahan dalam langkah – langkah proses penemuannya. Atau mungkin dalam penemuan baru ternyata sama hasilnya dengan yang sebelumnya maka yang baru merupakan sebuah penguatan sehingga pengetahuan yang sudah ada semakin kuat kebenarannya dan semakin berkembang[9].

B.     Kebenaran (the Thruth)
Seorang anak kecil setelah beberapa hari mengikuti pelajaran di sekolah bilang sama orang tuanya, bahwa esok pagi ia tidak mau ke sekolah lagi. Bujuk rayu dan iming – iming orang tua tidak mempan melunturkan kekerasan hati sang buah hati. Selanjutnya, setelah di selidiki, ternyata sang anak tidak mau berangkat ke sekolah lantaran konsep kebenaran yang di peroleh sang anak mengatakan bahwa bapak guru adalah sosok pembohong. Dijelaskannya, hari senin bapak guru bilang 5 + 3 = 8; hari rabu bapak guru bilang 2 + 6 = 8; hari sabtu lain lagi, bapak guru bilang 4 + 4 = 8. Pada tataran ini kebenaran yang di dapat sang anak adalah benar meskipun pada tataran kita hal tersebut bisa kita pahami bahwa kesimpulan sang anak adalah salah.

1.      Teori Koherensi
Teori koherensi merupakan teori kebenaran berdasarkan harmoni internal proposisi[10] – proposisi dalam suatu system tertentu. Suatu proposisi dikatakan benar kalau proposisi itu konsisten dengan proposisi lain yang sudah diterima atau diketahui kebenarannya. Dengan kata lain, jika suatu proposisi berada dalam keadaan saling berhubungan dengan semua fakta yang mungkin ada, maka proposisi tersebut secara mutlak benar[11]. Dan proposisi baru manapun dikatakan benar kalau proposisi itu dapat dimasukkan ke dalam suatu system tanpa mengacaukan keharmonisan internal system tersebut.
Selanjutnya, teori relativitas Einstein. Ide bahwa semua gerakan semata – mata bersifat nisbi serta ditinggalkannya pengertian – pengertian tentang ruang dan waktu yang mutlak, ternyata saling berhubungan dengan ide – ide lain yang jauh lebih baik. Ini menyebabkan bahwa lapangan yang bertautan dan berhubungan, dan ditinjau secara matematis bersifat lebih sederhana. Fisika matematik mendekati keterangan tentang kebenaran yang diberikan oleh faham koherensi.

2.      Teori Korespondensi
Bahwa suatu pernyataan itu benar jika makna yang dikandungnya sungguh – sungguh merupakan halnya. Kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian antara makna yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh – sunguh merupakan halnya, atau apa yang merupakan fakta – faktanya[12]. Maka suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi dengan obyek yang dituju oleh pernyataan[13].
Teori ini sering diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan[14]. Bagaimana orang mengetahui kebenaran bahwa api itu panas? Tentunya dengan menyentuhnya. Bagaimana untuk mengetahui apakah panas itu? Tentunya dengan menggunakan indra peraba. Dengan demikian pengetahuan panas yang didapat dari perantara indra merupakan sebuah pengalaman.
John Locke – bapak empirisme Britania – berpendapat bahwa sejak manusia dilahirkan akal yang dimilikinya adalah sebuah buku catatan yang masih kosong  (tabula rasa). Ia memandang akal merupakan tempat penampungan data – data inderawi yang bisa dilacak kembali[15] sehingga pada hakikatnya semuanya mengutamakan pengalaman indrawi dalam proses memperoleh pengetahuan[16].  Empirisme pada umumnya diidentikkan dengan teori korespondensi (tentang kebenaran) bahwa pernyataan – pernyataan adalah benar bila berkorespondensi (sejalan) dengan dunia (kenyataan); dan ide – ide berkorelasi dengan kenyataan melalui persepsi yang diterima dari dunia[17].

3.      Pragmatisme
Kebenaran dan arti gagasan – gagasan harus dikaitkan dengan kosekuensi – konsekuensinya (hasil, penggunaan). Gagasan – gagasan merupakan pedoman bagi aksi positif dan bagi rekonstruksi reaktif atas pengalaman dalam berhadapan dan penyesuaian dengan pengalaman – pengalaman baru.
Kebenaran itu berubah dan bersifat tentative sehingga kebenaran merupakan pembenaran (verification)[18]. Misalkan kita tersesat di hutan, setelah mempertimbangkan, beberapa saat maka kita berkata pada diri sendiri bahwa untuk keluar dari hutan harus mengambil jalan sebelah kiri. Dengan kata lain, pada saat kita mendapatkan masalah dan untuk keluar dari masalah kita merenungkan hal – hal yang ada dalam kekuatan pustaka indrawi yang kemudian berproposisi yang merupakan hipotesa.
Bagaimanakah kita mengetahui bahwa proposisi itu benar atau sesat?  Maka harus dilakukan verifikasi. Jika, setelah melaksanakan hipotesa dengan berjalan ke kiri bisa keluar dari hutan, berarti proposisi tersebut adalah benar. Proposisi yang diajukan merupakan suatu hipotesa yang meramalkan konsekuensi – konsekuensinya, dan jika konsekuensi – konsekuensi tersebut terwujud sesuai dengan yang dimaksud maka karenanya ia benar sehingga kebenaran akan benar setelah di verifikasi.
Selanjutnya, Sekiranya ada orang yang menyatakan teori A dalam pendidikan, dan dengan teori tersebut dikembangkan teknik B dalam meningkatkan kemampuan belajar maka teori A dianggap benar, sebab teori A ini fungsional mempunyai kegunaan. Artinya suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia[19].
Dalam teori ini pengumpulan fakta yang mendukung teori tertentu diproses dengan pembuktian secara empiris. Teori ini menyatakan bahwa sesuatu dianggap sebagai hal yang benar jika berfungsi secara praktis terhadap manusia dalam kehidupan sehari-hari







C.    Conclusion
Epistemology (theory of knowledge) merupakan salah satu cabang filsafat dalam menemukan kebenaran dalam pengetahuan. Teori – teori dalam epistemology – sebagai dasar menemukan kebenaran – memberi berdampak pada pesatnya perkembangan pengetahuan baik dalam bidang social maupun eksak bahkan pada penemuan Tuhan yang hakiki.
Teori koherensi dan korespondensi yang empiris merupakan tiang – tiang penyangga pengetahuan yang kemudian selalu diperbaharui dengan mengubah, menyempurnakan bahkan menolak – mengganti – dengan  yang kontemporer.
Diakui atau tidak, berbagai macam kriteria kebenaran seperti koherensi, korespondensi dan pragmatisme merupakan tanda – tanda untuk mencapai kebenaran, namun ada kalanya kebenaran itu berdasarkan kesepakatan umat manusia (consensus gentium) selama kebenaran itu berlaku secara universal.











REFERENSI



Bagus Lorens 2000, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta.

Irawati, Intan 2008.  Teori–teori Kebenaran Dalam Ilmu Pengetahuan, dalam kabar Indonesia  edisi 02 Juli 2008

Kattsoff, Louis O. 2006, Elements of Philosophy, terj., Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.

Suriasumantri, Jujun S. 2007,  Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan.

Van Peursen, C. A. 1991,  Filosofische Orientatie, terj., Gramedia, Jakarta.


[1] Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy, terj., (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2006), hlm. 7
[2] Louis O. Kattsoff, hlm. 8
[3] Louis O. Kattsoff, hlm. 12
[4] Jujun S. Suriasumantri,  Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007), hlm. 39
[5] Jujun S. Surisumantri, hlm. 39 - 40
[6] Louis O. Kattsoff, hlm 74
[7] C. A. Van Peursen, Filosofische Orientatie, terj., (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 25
[8] Jujun S. Suriasumantri, hlm. 53
[9] Jujun S. Suriasumantri, hlm. 141
[10] Arti – arti yang dipunyai pernyataan – pernyataan; apa yang dinyatakan atau diungkapkan pernyataan – pernyataan. Dalam arti ini, dibuat suatu pembedaan antara kalimat – kalimat dan proposisi – proposisi (pernyataan). Contoh: “Ahmad mencintai Endang” dan “Endang dicintai Ahmad” adalah dua kalimat yang berbeda tetapi keduanya mengungkapkan pernyataan (proposisi) yang sama.
[11] Louis O. Kattsoff, hlm 176
[12] Louis O. Kattsoff, hlm 179
[13] Jujun S. Suriasumantri, hlm. 57
[14] Intan Irawati, 2008.  Teori–teori Kebenaran Dalam Ilmu Pengetahuan, [Online] available: http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&dn=20080702084806 [14 Oktober 2010]
[15] Louis O. Kattsoff, hlm 133
[16] Louis O. Kattsoff, hlm. 135
[17] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 213
[18] Louis O. Kattsoff, hlm. 183
[19] Jujun S. Suriasumantri, hlm. 59

Tidak ada komentar: