Jumat, 08 Oktober 2010

Khawarij

Asal Usul Khawārij

Sebagian masyarakat Islam maupun Non Islam mungkin sedikit heran jika menyimak Sejarah Peradaban Islam. Sejarah menyebutkan, pertamakali yang muncul ke permukaan tentang permasalahan / “konflik” dalam tubuh Islam adalah masalah di bidang politik bukan di bidang agama (teologi)[1].

Permasalahan politik berawal ketika Nabi Muhammad SAW wafat, bahkan pemakaman Nabi Muhammad pun sampai tertunda dan menjadi masalah kedua[2]. Para sahabat dan masyarakat sibuk memikirkan pengganti (khilafah) Nabi Muhammad SAW sabagai Pemimpin Negara. Setelah melewati beberapa proses terpilihlah Abu Bakar ash – Shiddiq menjadi Khalifah yang menggantikan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin Negara, kemudian berlanjut kepada ‘Umar bin Khottob dan Usman bin Affan serta ‘Ali bin Abi tholib.

Dengan terpilihnya Abu Bakar menjadi Khalifah, ternyata tidak semua orang dan golongan setuju Abu Bakar menjadi Khalifah. Secara umum masyarakat terbagi menjadi dua golongan, yaitu: golongan terbanyak (jama’iyah) yang menyetujui Abu Bakar sampai ‘Ali bin abu Thalib menjadi Khalifah; dan golongan kecil (syi’ah) yang berpendirian bahwa “Khilafah” harus berada dalam garis keturunan Nabi dan Ali bin Abi Tholib dan keturunannya-lah yang berhak[3].

Ketika Usman bin Affan menjadi khalifah, dimulailah berbagai masalah dan polemik dalam Islam yang berdampak kepada perpecahan, permusuhan, dan kemajuan peradaban Islam pada periode – periode selanjutnya. Kesalahan fatal yang dilakukan Usman adalah kebijakan – kebijakannya mengangkat saudara – saudaranya menjadi Gubernur dan beberapa pos penting dalam pemerintahan.

Usman bin Affan sangat berbeda dengan dua khalifah pendahulunya, Khalifah Abu Bakar ash Shiddiq adalah orang yang sangat hati – hati dan cerdas, khalifah Umar terkenal dengan kecakapan serta keberaniannya. Sedangkan Khalifah Usman bin Affan karena keramahannya dan kurang responsif terhadap masalah yang timbul dalam pemerintahannya, membuat para saudaranya mudah menyetir dan mengarahkan khalifah.[4]

Pada enam tahun masa akhir kepemimpinannya, timbul gejolak politik, banyak pertentangan di sana – sini, huru – hara silih berganti yang pada akhirnya terjadi pembunuhan dirinya pada hari Jum’at, tanggal 08 Dzulhijjah 35H (17 Juni 656 M).[5]

Kekhalifahanpun berganti dan Ali bin Abi Tholib yang terpilih dengan mewarisi segudang masalah. Pemberontakan di mana – mana, terlebih ketika Khalifah Ali mengganti para petinggi bergaris keturunan Khalifah Usman, perlawanan kepada Khalifah semakin besar. Hal ini dapat dilihat dengan adanya perang shiffin, yaitu perang antara khalifah Ali bin Abi Thalib dengan kelompok pembrontak Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Dalam penumpasan pemberontak ini Khalifah Ali dapat mendesak pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, namun dengan kelicikan Mu’awiyah, Mu’awiyah mengajak berdamai kepada Khalifah. Pada awalnya Khalifah Ali tidak menerima ajakan tersebut karena sudah mencium kelicikan Mu’awiyah, tetapi karena desakan para sahabat terutama para ahli qurra dengan terpaksa Khalifah menerima[6] sehingga berbuntut pada perselisihan di dalam kubu Khalifah.

Pada perundingan ini, Mu’awiyah yang terkenal sangat licik mengangkangi kebersihan hati Khalifah Ali. Dalam perundingan disepakati bersama bahwa masing – masing utusan menurunkan pemimpin mereka, namun dengan kepiawaiannya memainkan keikhlasan pihak Khalifah Ali, Mu’awiyah dapat menjatuhkan kekhalifan Ali bin Abi Thalib.

Selanjutnya, penerimaan arbitrase tersebut memberi implikasi terhadap permasalahan teologi yang berakar pada nilai – nilai subyektifitas. Sangat terasa sekali ketidaksetujuan sebagian golongan dalam pasukan Ali atas arbitrase yang dilakukan oleh Khalifah Ali dan Mu’awiyah, lebih – lebih setelah melihat hasil dari arbitrase tersebut kemudian meninggalkan barisan Ali dan memisahkan diri serta menganggap Ali - Mu’awiyah telah kafir. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai golongan Khawārij (orang – orang yang keluar).

Secara etimologis, Khawārij berasal dari bahasa arab kharaja yang artinya keluar; muncul; timbul[7]; memberontak[8]. Selain itu dapat pula diartikan setiap muslim yang mempunyai niat atau berkeinginan keluar dari kesatuan ummat Islam[9]. Sebutan Khawārij juga bias didasarkan kepada al – Qur’ān surat an-Nisā’ ayat 100[10] (wa man yakhruj min baitihī muhājirān ’ilā Allāh wa rasūlihī) yang maksudnya adalah “barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allāh dan Rasul-Nya”[11]. Mereka juga menamakan dirinya sebagai Syura sebagaimana disebutkan di dalam al – Qur’ān surat al - Baqarah ayat 207[12] (wa minannāsi man yasyrī nafsahu btiga’a mardātillāh) yang artinya “dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allāh[13].

Adapun yang dimaksud Khawārij dalam terminology adalah kelompok politik – sebagian – pengikut Ali bin Abi Tholib yang memisahkan diri dari kesatuan barisan Ali bin Abi Thalib lalu meninggalkan barisan tersebut karena ketidaksepahaman dalam hal penerimaan Arbitrase yang berimbas pada area teologi.



[1] Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran- aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan), (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2002), hlm. 3

[2] Harun Nasution, hlm. 5

[3] A. Hasjmi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 72-73

[4] Syeef Ameer Ali, Api Islam, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1967), hlm.158 Cet. II,

[5] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), (Jakarta: LSIK, 1993), hlm. 7

[6]

[7] A. W. Munawwir, al Munawwir (Kamus Arab – Indonesia), (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 329

[8] A. W. Munawwir, hlm. 330

[9] Ali Musthofa al – Ghurabi, Tarikh al Riraqal Islamiyah wa Nasy’atu ‘Ilmi Kalami inda al muslimin (Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa auladuhu), (Mesir : Haidan al Azhar, Cet II 1985), hlm. 264

[10] Harun Nasution, hlm. 13

[11] Al – Qur’ān dan terjemahnya (revisi terbaru), (Semarang: Asy – Syifa’, 1998), hlm. 137

[12] Harun nasution, hlm. 13

[13] Al – Qur’ān, hlm. 50

Tidak ada komentar: