Jumat, 15 Oktober 2010

khawarij murji'ah

PEMIKIRAN TEOLOGI

KHAWĀRIJ DAN MURJI’AH

A. Asal Usul Khawārij dan Murji’ah

Sebagian masyarakat Islam maupun Non Islam mungkin sedikit heran jika menyimak Sejarah Peradaban Islam. Sejarah menyebutkan, pertamakali yang muncul ke permukaan tentang permasalahan / “konflik” dalam tubuh Islam adalah masalah di bidang politik bukan di bidang agama (teologi)[1].

Permasalahan politik berawal ketika Nabi Muhammad SAW wafat, bahkan pemakaman Nabi Muhammad pun sampai tertunda dan menjadi masalah kedua[2]. Para sahabat dan masyarakat sibuk memikirkan pengganti (khilafah) Nabi Muhammad SAW sabagai Pemimpin Negara. Setelah melewati beberapa proses terpilihlah Abu Bakar ash – Shiddiq menjadi Khalifah yang menggantikan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin Negara, kemudian berlanjut kepada ‘Umar bin Khottob dan Usman bin Affan serta ‘Ali bin Abi tholib.

Dengan terpilihnya Abu Bakar menjadi Khalifah, ternyata tidak semua orang dan golongan setuju Abu Bakar menjadi Khalifah. Secara umum masyarakat terbagi menjadi dua golongan, yaitu: golongan terbanyak (jama’iyah) yang menyetujui Abu Bakar sampai ‘Ali bin abu Thalib menjadi Khalifah; dan golongan kecil (syi’ah) yang berpendirian bahwa “Khilafah” harus berada dalam garis keturunan Nabi dan Ali bin Abi Tholib dan keturunannya-lah yang berhak[3].

Ketika Usman bin Affan menjadi khalifah, dimulailah berbagai masalah dan polemik dalam Islam yang berdampak kepada perpecahan, permusuhan, dan kemajuan peradaban Islam pada periode – periode selanjutnya. Kesalahan fatal yang dilakukan Usman adalah kebijakan – kebijakannya mengangkat saudara – saudaranya menjadi Gubernur dan beberapa pos penting dalam pemerintahan.

Usman bin Affan sangat berbeda dengan dua khalifah pendahulunya, Khalifah Abu Bakar ash Shiddiq adalah orang yang sangat hati – hati dan cerdas, khalifah Umar terkenal dengan kecakapan serta keberaniannya. Sedangkan Khalifah Usman bin Affan karena keramahannya dan kurang responsif terhadap masalah yang timbul dalam pemerintahannya, membuat para saudaranya mudah menyetir dan mengarahkan khalifah.[4]

Pada enam tahun masa akhir kepemimpinannya, timbul gejolak politik, banyak pertentangan di sana – sini, huru – hara silih berganti yang pada akhirnya terjadi pembunuhan dirinya pada hari Jum’at, tanggal 08 Dzulhijjah 35H (17 Juni 656 M).[5]

Kekhalifahanpun berganti dan Ali bin Abi Tholib yang terpilih dengan mewarisi segudang masalah. Pemberontakan di mana – mana, terlebih ketika Khalifah Ali mengganti para petinggi bergaris keturunan Khalifah Usman, perlawanan kepada Khalifah semakin besar. Hal ini dapat dilihat dengan adanya perang shiffin, yaitu perang antara khalifah Ali bin Abi Thalib dengan kelompok pembrontak Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Dalam penumpasan pemberontakan ini Khalifah Ali dapat mendesak pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, namun dengan kelicikan tangan kanan Mu’awiyah, ’Amr bin al – ’As, mengusulkan untuk mengajak berdamai kepada Khalifah. Pada awalnya Khalifah Ali tidak menerima ajakan tersebut karena sudah mencium kelicikan ’Amr bin al – ’As, tetapi karena desakan para sahabat terutama para ahli qurra dengan terpaksa Khalifah menerima[6] sehingga berbuntut pada perselisihan di dalam kubu Khalifah.

Pada perundingan ini, ’Amr bin al – ’As yang terkenal sangat licik mengangkangi kebersihan hati Abu Musya al – Asy’ari sebagai utusan Khalifah Ali. Dalam perundingan disepakati bersama bahwa masing – masing utusan menurunkan pemimpin mereka, namun dengan kepiawaiannya memainkan keikhlasan Abu Musya al – Asy’ari, ’Amr bin al – ’As dapat menjatuhkan kekhalifan Ali bin Abi Thalib[7].

Selanjutnya, penerimaan arbitrase tersebut memberi implikasi terhadap permasalahan teologi yang berakar pada nilai – nilai subyektifitas. Sangat terasa sekali ketidaksetujuan sebagian golongan dalam pasukan Ali atas arbitrase yang dilakukan oleh Khalifah Ali dan Mu’awiyah, lebih – lebih setelah melihat hasil dari arbitrase tersebut kemudian meninggalkan barisan Ali dan memisahkan diri serta menganggap Ali - Mu’awiyah telah kafir. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai golongan Khawārij (orang – orang yang keluar).

Secara etimologis, Khawārij berasal dari bahasa arab kharaja yang artinya keluar; muncul; timbul[8]; memberontak[9]. Selain itu dapat pula diartikan setiap muslim yang mempunyai niat atau berkeinginan keluar dari kesatuan ummat Islam[10]. Sebutan Khawārij juga bias didasarkan kepada al – Qur’ān surat an-Nisā’ ayat 100[11] (wa man yakhruj min baitihī muhājirān ’ilā Allāh wa rasūlihī) yang maksudnya adalah “barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allāh dan Rasul-Nya”[12]. Mereka juga menamakan dirinya sebagai Syura sebagaimana disebutkan di dalam al – Qur’ān surat al - Baqarah ayat 207[13] (wa minannāsi man yasyrī nafsahu btiga’a mardātillāh) yang artinya “dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allāh[14].

Adapun yang dimaksud Khawārij dalam terminology adalah kelompok politik – sebagian – pengikut Ali bin Abi Tholib yang memisahkan diri dari kesatuan barisan Ali bin Abi Thalib lalu meninggalkan barisan tersebut karena ketidaksepahaman dalam hal penerimaan Arbitrase yang berimbas pada area teologi.

Sementara sebagian kelompok yang tidak setuju dengan adanya arbitrase tersebut (Khawārij), sebagian lagi adalah orang – orang yang tetap setia kepada Ali bin Abi Tholib (Syi’ah). Meskipun kedua kelompok ini bermusuhan, namun mereka mempunyai kesamaan dalam hal memerangi Mu’awiyah dengan motif berbeda. Khawārij memerangi Mu’awiyah karena Mu’awiyah dianggap sudah melakukan dosa besar dengan melakukan arbitrase sehingga harus diperangi dan dibunuh, sedangkan syi’ah bertujuan merebut kembali kekhalifahan yang telah di ambil oleh Mu’awiyah secara licik. Lebih ekstrim, bagi Syi’ah orang yang berhak menjadi khalifah – pengganti Nabi Muhammad – hanya Ali bin Abi Thalib dan keluarganya bahkan Abu Bakar, Umar dan Usman pun tidak mempuyai hak untuk menjadi khalifah serta orang – orang yang tidak sepaham dengan mereka dianggap telah melakukan dosa besar[15] sehingga wajib hukumnya untuk diperangi dan dibunuh.

Selanjutnya, saling pengkafiran – tuduhan sebagai pelaku dosa besar – pun menjadi permasalahan yang selalu hadir dalam wilayah tatanan kehidupan beragama, tapi tidak demikian pada suatu komunitas yang meyebut dirinya Murjia’ah. Kelompok ini tidak setuju dengan tuduhan sebagian golongan kepada golongan lain atas pengkafiran seseorang atau kaum karena hanya Tuhan yang mengetahui apakah anak adam beriman atau tidak beriman. Menurut Murji’ah, orang yang melakukan dosa besar tetapi ia masih bersaksi bahwa tidak ada ilāh selain Allāh dan Muhammad adalah Rasūlullāh maka ia tetap mukmin. Dengan kata lain, Murji’ah muncul sebagai reaksi atau sikap yang tidak ingin terlibat dalam pengkafiran seseorang – tuduhan pelaku dosa besar – yang dilakukan oleh kaum Khawārij dan Syi’ah, mereka ingin bersifat netral dan menangguhkan perkara dosa besar sampai pada hari perhitungan kelak di hadapan Tuhan. Senada dengan maksud kemunculannya nama Murji’ah (arj’a) mempunyai arti lebih baik menunda atau dapat juga diartikan memberi pengharapan, maksudnya meskipun orang Islam melakukan dosa besar, ia tidak kafir dan tetap mukmin, bahkan di nerakapun ia tidak kekal[16]. Dalam versi yang lain, kemunculan Murji’ah ini merupakan kekhawatiran para sahabat akan terjadi sektarianisme dalam Islam, sehingga diperlukan pemahaman yang menunda urusan dosa besar demi menjaga persatuan dan kesatuan ummat Islam[17].

B. Sekte - sekte

1. Khawārij

Mayoritas komunitas khawārij berasal dari orang – orang arab badui[18], sedangkan bagi mereka agama hanya sekedar saja yang terbesit di dalam hati sebagaimana Allāh berfirman dalam al – Qur’ān surat at – Taubah ayat: 97 (orang – orang badui itu lebih sangat kekafirannya dan kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum – hukum yang diturunkan Allāh kepada Rasūl-Nya. Dan Allāh maha mengetahui lagi maha bijaksana)[19].

Dengan letak geografis yang gersang, tandus, tidak suka dengan perubahan, suka merebut hak orang lain, lebih mengutamakan otot dari pada akal[20] – meskipun sebagian dari mereka ada yang beriman (Q.S. 9 : 99) –membentuk pola fikir yang sangat sederhana dalam memahami Islam sehingga dapat dikatakan mereka pemahaman mereka masih terbatas pada tekstualis dengan kata lain iman yang tebal tapi sempit pikiran[21]. Maka wajar jika dalam perkembangannya Khawārij terpecah menjadi banyak kelompok / sekte.

1) Al – Muhakkimah

Al – muhakkimah adalah kelompok khawārij pertama, yakni orang – orang yang ada dalam pasukan / pengikut Ali yang kemudian meninggalkan Ali ketika peristiwa arbitrase berlngsung[22] kemudian berkumpul di Harura. Mereka menganggap Ali dan yang berseteru telah meninggalkan hukum Allāh serta menggantinya dengan hukum manusia[23] sehingga dalam pandangan mereka Ali bin Abi Tholib, Mu’awiyah, ’Amr bin al – ’As, Abu Musya al – Asy’ari serta orang – orang yang terlibat di dalamnya dianggap kafir. Pemimpin – pemimpin mereka adalah Abdullāh bin al Kawa, Utab bin al A’war, Abdullāh bin Wahab al Rasiby.

2) Al – Azariqah

Nama ini diambil dari Nafi Ibnu Al-Azraq, pemimpin utamanya, yang memiliki pengikut sebanyak dua puluh ribu orang. Di kalangan para pengikutnya, Nafi digelari “amir al-mukminin”. Golongan al-azariqoh dipandang sebagai sekte yang besar dan kuat di lingkungan kaum Khawarij.

Dalam pandangan teologisnya, Al-Azariqoh tidak menggunakan term kafir, tetapi menggunakan term musyrik atau politeis. Yang dipandang musyrik adalah semua orang yang tidak sepaham dengan ajaran mereka. Bahkan, orang Islam yang tidak ikut hijrah kedalam lingkungannya, dihukumkan musyrik.

Karena kemusyrikannya itu, kaum ini membolehkan membunuh anak-anak dan istri yang bukan golongan Al-Azariqoh. Golongan ini pun membagi daerah kekuasaan, yakni “dar al-Islam” dan “dar al-kufur”. Dar al-Islam adalah daerah yang dikuasai oleh mereka, dan dipandang sebagai penganut Islam sebenarnya. Sedangkan Dar al-Kufur merupakan suatu wilayah atau negara yang telah keluar dari Islam, karena tidak sefaham dengan mereka dan wajib diperangi.

3) Al-Ibadiah

Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh sekte Khawarij. Nama golongan ini diambnil dari Abdullah Ibnu Ibad, yang pada tahun 686 M. memisahkan diri dari golongan Al-Azariqoh.
Adapun faham-fahamnya yang dianggap moderat itu, antara lain :
Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan pula musyrik, tetapi kafir. Orang Islam demikian, boleh mengadakan hubungan perkawinan dan hukum waris. Syahadat mereka diterima, dan membunuh mereka yang tidak sefaham dihukumkan haram.
Muslim yang melakukan dosa besar masih dihukumkan ‘muwahid’, meng-esa-kan Tuhan, tetapi bukan mukmin. Dan yang dikatakan kafir, bukanlah kafir agama, tetapi kafir akan nikmat. Oleh karenanya, orang Islam yang melakukan dosa besar tidak berartyi sudah keluar dari Islam.
Harta kekayaan hasil rampasan perang yang boleh diambil hanyalah kuda dan senjata. Sedangkan harta kekayaan lainnya, seperti emas dan perak, harus dikembalikan kepada pemiliknya.

2. Murji’ah

Kaum Murji’ah pecah menjadi beberapa golongan kecil. Namun, pada umumnya Aliran Murji’ah menurut Harun Nasutuion, terbagi kepada dua golongan besar, yakni “golongan moderat” dan “golongan ekstrim”[24].

Kelompok ekstrim dalam Murji’ah terbagi menjadi empat kelompok besar, yaitu :

1. Al-Jahmiyah, kelompok Jahm bin Syahwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya kepada tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.

2. Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui tuhan, sedangkan kufur tidak tahu tuhan. Sholat bukan merupakan ibadah kepada Allah, yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.

3. Yumusiah dan Ubaidiyah, melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik.

4. Hasaniyah, jika seseorang mengatakan “saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir[25].

C. Pokok Dan Dasar Serta Perbandingan Pemikiran Teologi tentang Konsep Iman dan Kepemimpinan

1. Khawarij

Pada masa sebelum terjadinya perpecahan di kalangan Khawarij, mereka memiliki tiga pokok pendirian yang sama, yakni : Ali, Usman, dan orang-orang yang ikut dalam peperangan serta orang-orang yang menyetujui terhadap perundingan Ali dan Muawiyah, dihukumkan orang-orang kafir.

Selain pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis, kaum Khawarij juga memiliki pandangan atau pemikiran (doktrin-doktrin) dalam bidang sosial yang berorientasi pada teologi, sebagaimana tercermin dalam pemikiran-pemikiran sebagai berikut :

1. seorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim, sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis lagi, mereka menganggap seorang muslim bisa menjadi kafir apabila tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.

2. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka, bila tidak ia wajib diperangi karena dianggap hidup di negara musuh, sedangkan golongan mereka dianggap berada dalam negeri islam,

3. Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng,

4. Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk kedalam surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk neraka),

5. Amar ma’ruf nahi munkar,

6. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari tuhan,

7. Qur’an adalah makhluk,

8. Memalingkan ayat – ayat Al-Qur’an yang bersifat mutasyabihat (samar).

Bila dianalaisis lebih mendalam, ternyata doktrin yang dikembangkan oleh kaum Khawarij dapat dikategorikan kedalam tiga kategori, yakni politik, teologi, dan sosial[26]. Dari ketiga doktrin tersebut, doktrin sentral aliran Khawarij adalah terletak pada bidang politik. Hal ini terbukti bahwa mereka memiliki pemikiran yang radikal dalam bidang politik. Namun, dari sifat yang radikal tersebut membuat mereka menjadi fanatik dalam manjalankan agama. Sehingga dapat dikatakan bahwa orang Khawarij adalah orang yang bersifat keras dalam menjalankan ajaran agama. dapat diasumsikan pula bahwa orang Khawarij cenderung berwatak tekstualis yang menjadikan mereka menjadi bersifat fundamentalis. Namun berbeda pada pemikiran di bidang sosial, pemikiran yang cenderung bersifat tekstual dan fundamentalis cenderung tidak terasa. Jika teologis seperti ini benar-benar merupakan pemikiran Khawarij, maka dapat dismpulkan bahwa kaum ini adalah kaum yang berasal dari orang yang baik-baik. Hanya saja keberadaan mereka sebagai kelompok minoritas yang pendapat dan pemikirannya diabaikan bahkan dikucillkan oleh para penguasa yang membuat mereka menjadi bersikap ekstrim[27].

Diantara doktrin-doktrin pokok Khawarij adalah berikut ini:

1. Khalifah atau Imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam,

2. Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab,

3. Khalifah dipilih secara permanent selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau ia melakukan kezaliman[28].

4. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar dan Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa khalifahannya, Usman dianggap telah menyeleweng,

5. Khalifah Ali adalah sah tetapi stelah terjadi arbitrase (takhim), Ia dianggap telah menyeleweng,

6. Muawiyah dan Amr bin Al-Ash serta Abu Musa Al-Asyari juga telah dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir,

7. Pasukan perang jamal yang melawan Ali juga kafir[29].

8. Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis lagi mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula,

9. Setiap Muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi,

10. Seseorang harus menghindar dari pimipinan yang menyeleweng,

11. Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga dan orang jahat masuk neraka),

12. Amar ma’ruf nahi mungkar

13. Memalingkan Ayat-ayat Al-Qur’an yang mutasabihat (samar),

14. Manusia bebas mengutuskan perbuatannya dari tuhan,

2. Murji’ah

Doktrin-doktrin aliran Murji’ah bisa diketahui dari makna yang terkandung dalam “murji’ah” dan dalam sikap netralnya. Pandangan “netral” tersebut, nampak pada penamaan aliran ini yang berasal dari kata “arja’a”, yang berarti “orang yang menangguhkan”, mengakhirkan dan “memberi pengharapan”. Menangguhkan berarti “menunda soal siksaan seseorang ditangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan, dia akan langsung masuk surga. Jika sebaliknya, maka akan disiksa sesuai dengan dosanya.

Istilah “memberi harapan” mengandung arti bahwa, orang yang melakukan maksiat padahal ia seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna. Sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh orang kafir, tidak akan mendatangkan faedah terhadap kekufurannya. Mereka “berharap” bahwa seorang mukmin yang melakukan maksiat, ia masih dikatakan mukmin.

Berdasarkan itu, maka inti faham atau doktrin-doktrin Murji’ah adalah sebagai berikut :

1. Iman ialah mengenal Allah dan Rasulnya, barangsiapa yang tidak mengenal bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya”, ia mukmin sekalipun melakukan dosa.

2. Amal perbuatan bukan merupakan bagian dari iman, sebab iman adanya dalam hati. Sekalipun melakukan dosa besar, tidaklah akan menghapus iman seseorang, tetapi terserah Allah untuk menentukan hukumnya.

Abdul Rozak dan Rasihon Anwar dalam bukunya mengatakan bahwa gagasan irja banyak diaplikasikan kedalam bidang politik dan teoligi. Dalam bidang politik kaum Murji’ah banyak dikenal sebagai The Queietists (kelompok bungkam) karena sikap netral mereka pada permasalahan politik dan sikap mereka yang selalu diam dalam persoalan politik.

Dalam bidang teologi, pemikiran mereka cenderung mengacu kepada permasalahan iman, kufur, dosa besar, dosa ringan, tauhid, tafsir Al-Qur’an, eskatologi, pengampunan atas dosa besar, kemaksuman nabi, ada yang kafir di generasi awal islam, tobat, hakekat Al-Qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan tuhan.

Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut :

1. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskan di akherat kelak.

2. Penangguhan Ali untuk menduduki rangking ke empat dalam peringkat ­Al-Khalifa Ar-Rasyidin.

3. Pemberian harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.

4. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis[30].

Sementara itu Harun Nasution menyebutkan, bahwa Murji’ah memiliki empat ajaran pokok, yaitu :

1. Menunda hukuman atas Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ari yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.

2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.

3. Meletakkan (pentingnya) iman dari amal.

4. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah[31].

Sementara itu Abu ‘a’la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu:[32]

1. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal dan perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.

2. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman dihati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan mudharat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya menjauhkan diri dari syirik dan mati dam keadaan akidah tauhid.

D. Penutup

Ada faham yang sangat fundamental dari kaum Khawarij yang timbul dari watak idealismenya, yaitu penolakan mereka atas pandangan bahwa amal soleh merupakan bagian essensial dari iman. Oleh karena itu, para pelaku dosa besar tidak bisa lagi disebut muslim, tetapi kafir. Demikian pula halnya, dengan latar belakang watak dan karakter kerasnya, mereka selalu melancarkan jihad (perang suci) kepada pemerintah yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya.

Sebenarnya, menurut pandangan Khawarij, bahwa keimanan itu tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun demikian, karena pada umumnya manusia tidak bisa memecahkan masalahnya, kaum Khawarij mewajibkan semua manusia untuk berpegang kepada keimanan, apakah dalam berfikir, maupun dalam segala perbuatannya. Apabila segala tindakannya itu tidak didasarkan kepada keimanan, maka konsekwensinya dihukumkan kafir.

Faham aliran Murji’ah bisa diketahui dari makna yang terkandung dalam “murji’ah” dan dalam sikap netralnya. Pandangan “netral” tersebut, nampak pada penamaan aliran ini yang berasal dari kata “arja’a”, yang berarti “orang yang menangguhkan”, mengakhirkan dan “memberi pengharapan”. Menangguhkan berarti “menunda soal siksaan seseorang ditangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan, dia akan langsung masuk surga.

Jika sebaliknya, maka akan disiksa sesuai dengan dosanya.
Istilah “memberi harapan” mengandung arti bahwa, orang yang melakukan maksiat padahal ia seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna. Sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh orang kafir, tidak akan mendatangkan faedah terhadap kekufurannya. Mereka “berharap” bahwa seorang mukmin yang melakukan maksiat, ia masih dikatakan mukmin.

Berdasarkan itu, maka inti faham Murji’ah adalah sebagai berikut :
Iman ialah mengenal Allah dan Rasulnya, barangsiapa yang tidak mengenal bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya”, ia mukmin sekalipun melakukan dosa.

Amal perbuatan bukan merupakan bagian dari iman, sebab iman adanya dalam hati. Sekalipun melakukan dosa besar, tidaklah akan menghapus iman seseorang, tetapi terserah Allah untuk menentukan hukumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Siradjuddin, I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2006)

A. Hasjmi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979)

Al – Ghurabi, Ali Musthofa, Tarikh al Riraqal Islamiyah wa Nasy’atu ‘Ilmi Kalami inda al muslimin (Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa auladuhu), (Mesir : Haidan al Azhar, Cet II 1985)

Al-Maududi, Abul A’la, Al-Khalifah wa Al-Mulk, terj. Muhammad Albaqir, Mizan, Bandung, 1994.

Al – Qur’ān dan terjemahnya (revisi terbaru), (Semarang: Asy – Syifa’, 1998)

Ali, Syeef Ameer, Api Islam, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1967)

Hitti, Philip K., History of The Arabs: From The Earliest times to The Present, terj., (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010)

Izutsu, Toshihiko, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis Semantik Iman dan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994)

Majid, Nurkhalis, Khajanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, cet.2, Jakarta: 1985

Nasution, Harun, Teologi Islam (Aliran- aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan), (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2002)

Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), (Jakarta: LSIK, 1993)

Munawwir, A. W., al Munawwir (Kamus Arab – Indonesia), (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997)


[1] Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran- aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan), (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2002), hlm. 3

[2] Harun Nasution, hlm. 5

[3] A. Hasjmi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 72-73

[4] Syeef Ameer Ali, Api Islam, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1967), hlm.158 Cet. II,

[5] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), (Jakarta: LSIK, 1993), hlm. 7

[6] Harun Nasution, hlm.7

[7] Dalam kajian yang dilakukan oleh Weelhausen (Das arabische Reich und sein Sturz, Berlin, 1902, bab II) yang kemudian dilanjutkan oleh Père Lammens (Études sur le regne du calife omaiyade Mo’âwiya ler, Beirut: 1907, bab VII) dikemukakan bahwa, pemahaman yang selama ini kita ketahui merupakan riwayat – riwayat yang bersumber dari kelompok Irak yang berkembang pada dinasti Abbasiyah (musuh dinasti umayyah). Dalam pandangannya, bisa jadi, kedua utusan – arbitor – memang sepakat bahwa masing – masing dijatuhkan dalam kekhalifahan, sehingga pihak Ali bin Abu Tholib menjadi pihak yang kalah karena Ali sebagai Khalifah resmi harus turun dari jabatannya sedangkan Mu’awiyah turun jabatan sebagai khalifah yang masih direbutnya. Hal ini menjadikan Ali dan Mu’awiyah mempunyai kedudukan / derajat yang sama. (lihat: Philip K. Hitti, History of the Arabs, terj. Jakarta: serambi, 2010M, bab X)

[8] A. W. Munawwir, al Munawwir (Kamus Arab – Indonesia), (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 329

[9] A. W. Munawwir, hlm. 330

[10] Ali Musthofa al – Ghurabi, Tarikh al Riraqal Islamiyah wa Nasy’atu ‘Ilmi Kalami inda al muslimin (Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa auladuhu), (Mesir : Haidan al Azhar, Cet II 1985), hlm. 264

[11] Harun Nasution, hlm. 13

[12] Al – Qur’ān dan terjemahnya (revisi terbaru), (Semarang: Asy – Syifa’, 1998), hlm. 137

[13] Harun nasution, hlm. 13

[14] Al – Qur’ān, hlm. 50

[15] Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2006), hlm. 93

[16] Harun Nasution, hlm 24 – 25

[17] Abdul Rozak, 56

[18] Harun Nasution, hlm. 15

[19] Al – Qur’ān, hlm 296

[20] Philip K. Hitti, History of The Arabs: From The Earliest times to The Present, terj., (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010), hlm. 28 – 36.

[21] Harun Nasution, hlm. 15

[23] Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis Semantik Iman dan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 13.

[24] Abdul Razak hlm. 60

[25] Abdul Razak hlm. 61

[26] Abdul Razak hlm. 52

[27] Abdul Razak hlm. 54

[28] Harun Nasution Teologi Islam, hal 12

[29] Nurkhalis Majid, Khajanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, cet.2, Jakarta: 1985, hal.12

[30] Abdul Razak hlm. 58

[31] Abdul razak hlm. 59

[32] Abul A’la Al-Maududi, Al-Khalifah wa Al-Mulk, terj. Muhammad Albaqir, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 279-280

Tidak ada komentar: